Jakarta, Jatim This Week – Data Analyst Continuum Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkap hasil analisis respons masyarakat mengenai kebijakan subsidi kendaraan listrik. Analisis itu menggunakan pendekatan big data yang diambil dari media sosial Twitter yang hasilnya 80,77 persen masyarakat di internet itu tak sepakat dengan subsidi kendaraan listrik.
Menanggapi itu, ekonom senior Indef Faisal Basri menilai, pandangan masyarakat umum di media sosial itu tidak jauh berbeda dengan tinjauan teoritis dan empiris.
“Jadi bisa dikatakan suara masyarakat adalah suara tuhan begitu, jadi harus diperhatikan,” ujar Faisal Basri dalam diskusi daring pada minggu (21/5/2023).
Namun masalahnya, Faisal Basri melanjutkan, jika ada yang berbeda pandangan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan—pejabat yang terlibat dalam keputusan atas kebijakan subsidi kendaraan listrik—solusinya dilakukan secara privat.
Seharusnya, dia menyarankan, diselesaikannya secara publik, karena kebijakan tersebut berhubungan dengan publik.
Hal itu disampaikan karena Luhut menanggapi kritik soal subsidi kendaraan listrik dari Anies Baswedan dan memintanya untuk menghadap serta langsung menyampaikan kritiknya, dimana Anies menilai kebijakan itu tidak tepat sasaran dan menyarankan agar subsidi itu diberikan kepada transportasi umum.
Menurut Faisal Basri, publik membutuhkan penjelasan mengenai kajian kebijakan tersebut seperti apa, bagaimana cost benefit analysis-nya, sehingga masyarakat bisa memahaminya.
“Jadi kalau siapa yang tidak setuju kendaraan listrik datang kepada saya, saya jelaskan. Ini bukan masalah privat,” tutur Faisal.
Selain itu, dia melanjutkan, tidak ada perbincangan di media sosial mengenai kritik atas keberadaan mobil listrik, artinya, masyarakat sudah cerdas dan tahu bahwa kendaraan listrik adalah kemajuan teknologi yang bermanfaat bagi umat manusia.
“Tidak ada keraguan tentang itu, tidak ada satu pembicaraan pun yang anti mobil listrik,” ucap Faisal Basri.
Namun, menurut ekonom lulusan Universitas Indonesia itu, hal itu menjadi kontroversi karena tidak adanya penjelasan. “Ini bagian dari konsep ekonomi baru Indonesia tentang green economi atau konsep baru tentang Indonesia untuk memajukan industrialisasi. Jadi Industri yang mau dikembangkan atau green ekonominya,” kata Faisal Basri. (yoe/adi)