Dikit – dikit OTT Koruptor Bikin Negeri Jelek
Jakarta, Jatim This Week – Operasi tangkap tangan (OTT) KPK dikritik oleh dua menteri Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan Menko Polhukam Mahfud Md. Mahfud menilai apa yang disampaikan Luhut soal KPK tak perlu sedikit-sedikit melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pejabat tak salah.
KPK dianggap tidak perlu sedikit-sedikit melakukan OTT. Terhadap pernyataan LBP ini saya tidak sepakat dengan pandangan Luhut apalagi dikaitkan dengan penilaian bahwa OTT membuat citra negara jelek.
Mengenai OTT dan KPK dalam upaya merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan dalam praktik pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
OTT KPK adalah singkatan dari Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. KUHAP kita tidak mengenal OTT, yang ada adalah TERTANGKAP TANGAN.
Kalau kita punya sense of crisis terhadap tindak pidana Korupsi, mestinya tidak alergi dengan OTT. Justru bisa menjadi shock therapy tersendiri bagi orang atau pejabat yg akan melakukan TP Korupsi. Supaya tidak dikit-dikit OTT maka jangan melakukan TP Korupsi. Menjadi pejabat harus bersih, tidak korup.
Ucapan Luhut tersebut bisa dimaknai menjadi narasi ganda, yaitu pencegahan korupsi melalui digitalisasi dan menolak OTT KPK dan hal ini bisa mengaburkan opini publik terhadap OTT.
Sebenarnya, narasi ganda kedua upaya pemberantasan itu bisa saja dilakukan secara bersamaan dengan saling amplikatif. Digitalisasi dan OTT yang dilakukan bersamaan supaya membuat pemberantasan korupsi di Indonesia lebih “greget” dan membuat orang berpikir ribuan kali untuk melakukan tipikor.
OTT bagi publik adalah sebuah diksi yang mendorong tingkat trust pada KPK asalkan caranya tidak bermuatan politik. Jika sudah bermuatan politik maka makna OTT akan menjadi kabur karena pelaksanaannya tergantung pesanan rezim.
Di sisi lainnya, narasi Luhut bisa dimaknai sebagai justifikasi melakukan tindak pidana korupsi. Termasuk ucapan Luhut “kalau mau bersih di surga saja”, pernyataan ini seolah-olah membolehkan pejabat untuk korupsi.
Saya kira pernyataan LBP itu pernyataan yang absurd dan menyesatkan seolah sudah sewajarnya jika pejabat itu “nakal” dikit, korupsi dikit-dikit, menyimpang dikit dengan alasan orang hidup pasti tidak sempurna, banyak kekurangan, dan lain-lain.
Padahal, untuk bisa di syurga justru harus dimulai dari ketika hidup di dunia, ketika menjabat harus bersih, termasuk dari tipikor.
Ingat, tidak agama manapun yang membolehkan umatnya melakukan tindakan korupsi ketika ia menjabat. Bahkan Islam mengajarkan untuk mencampuradukkan antara kepentingan pribadi dan negara. Bagaimana Sahabat Umar bin Khattab R.A. harus mematikan lampu rumah dinasnya ketika tidak sedang menjalankan kepentingan kenegaraan.
Kesan bahwa KPK saat ini dilumpuhkan secara halus pelan-pelan dikerdilkan dengan hanya menangani kasus-kasus kecil dan dilokalisir pada aktor di level daerah tingkat 2 saja, dan itupun intensitasnya sangat jarang memang sangat tampak sejak UU KPK direvisi 2019.
Terkait dengan OTT, terdapat banyak pro dan kontra terkait tindakan OTT oleh KPK. Pihak yang pro menyatakan bahwa OTT merupakan cara yang tepat untuk menangkap para koruptor karena tidak memerlukan alur birokrasi yang panjang dan menghasilkan barang bukti yang konkret.
Di sisi lain pihak yang kontra menganggap pelaksanaan OTT menyalahi aturan dalam KUHAP. Disebut menyalahi karena terminologi dalam KUHAP adalah “tertangkap tangan” dan bukan “operasi tangkap tangan” seperti yang selama ini dilakukan oleh KPK.
Anda mungkin masih ingat bahwa Arteria Dahlan termasuk yang KONTRA dengan OTT khususnya terhadap CATUR WANGSA PENEGAKAN HUKUM (Polisi, Hakim, Jaksa dan Advokat mestinya). Ia menawarkan yang disebut CASE BUILDING.
Menurut dia, salah satu upaya yang bisa dilakukan yaitu dengan melakukan penegakan hukum menggunakan cara case building. Hal tersebut lebih bisa mendapat keadilan ketimbang OTT.
Sebab, ia bisa diuji oleh semua pihak, beda dengan OTT. Selain itu penindakan hukum dengan cara lain selain OTT lebih ada unsur kewajaran yang bisa terlihat. Juga tidak menimbulkan isu kriminalisasi dan politisasi.
Apa yang diusulkan oleh Arteria kayaknya diamini oleh KPK Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta, Rabu, 25 Agustus 2021. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih memilih pengembangan kasus atau case building ketimbang operasi tangkap tangan (OTT). Hal itu karena waktu pemberkasan kasus pada OTT terlalu cepat.
Menurut Marwata, OTT membuat KPK tidak bisa mengeksplorasi lebih jauh kasus terkait. Pasalnya, ketika KPK menangkap pejabat negara, status hukumnya harus ditentukan dalam waktu 1×24 jam dan menahan tersangka. Setelah itu, KPK harus segera merampungkan berkas perkara dalam waktu 120 hari. Jangka waktu itu terlalu mepet untuk menangani kasus korupsi.
Sementara itu, case building bisa membuat KPK mengeksplorasi kasus. Lembaga Antikorupsi punya banyak waktu untuk penyelidikan, penyidikan, sampai penahanan tersangka sebelum pemberkasan.
Semua kembali kepada KPK, apakah tetap ingin punya taji atau mau makin dilemahkan dengan cara membiarkan dipreteli wewenangnya untuk secara serius dan tegas melakukan pemberantasan korupsi.
Terkait dengan fakta tipikor dan respons pejabat dalam penanganannya, seharusnya akhlak dan moralitas pejabat publik khususnya dalam hal edukasi termasuk pencegahan korupsi secara holistik sampai ke tingkat masyarakat bawah harus segera dibenahi, jika perlu segera lakukan revolusi akhlak. Koreksi sistem pemerintahan demokrasi saat ini sehingga mampu memberikan teladan yang terbaik kepada rakyatnya.
Kalau kita mengikuti alur pikir orang-orang yg berpotensi melakukan korupsi ini dan pelemahan KPK terus terjadi, maka 5 sd 10 tahun ke depan korupsi tidak akan surut bahkan semakin tinggi, apalagi didukung oleh sistem pemerintahan DEMOKRASI OLIGARKI.
Semua UU bisa dikondisikan, diubah sesuai dengan kesepakatan bahkan angka-angka demokrasi. Tidak ada patokan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Teladan sulit dicari karena tolok ukurnya juga nisbi.
Oleh karena itu terkait dengan OTT dalam pemberantasan korupsi, saya tetap berharap OTT tetap dijalankan. Jika memang bertujuan untuk pengembangan tindak pidana korupsi mestinya dari sisi hukum acara, waktu penangkapan bisa diperpanjang menjadi 14 hari bahkan bisa ditambah 7 hari seperti tindak pidana extraordinary crime terorisme.
Bukankah korupsi juga disepakati sebagai extraordinary crime? Jadi, pemberantasan korupsi bukan hanya menggunakan jalur OTT tapi juga CASE BUILDING sekaligus.
Ingat, OTT tidak boleh diartikan membuat negeri ini jelek. Kalau anggapannya seperti itu, maka PENANGKAPAN TERDUGA TERORIS yang sering terjadi juga sama membuat negeri ini JELEK, bukan? Pernyataan itu absurd dan bahaya, bukan? Jika ingin tidak dikit-dikit OTT Koruptor, maka jadilah pejabat yang bersih dari KKN, bukan menentang OTT KPK. (*/fit)
Penulis: Prof. Pierre Suteki (Guru Besar Ilmu Hukum UNDIP Semarang)
Editor: Fitroh Kurniadi
Sumber : www.jatimhariini.co.id