Gugatan Pilkada Kota Malang dan Quo Vadis Demokrasi Kita ?

Malang, Jatimthisweek.com – Menelisik dan menyaksikan ratusan gugatan di MK atas berlangsungnya proses berdemokrasi dalam pilkada serentak yang usai diselenggarakan oleh KPU pada tanggal 27 November 2024, maka memunculkan pertanyaan pada para pejuang demokrasi di negeri ini tentang kualitas dan integritas demokrasi yang dinahkodai oleh KPU dan Bawaslu.
Data gugatan di MK minimal kalau kita kelompokan ada dua kelompok yang lazim terjadi dalam setiap perhelatan pemilu yaitu
1. Keterlibatan ASN dan APH
2. Pidana pemilu yang populer terjadi yaitu money politic
3. Administrasi data pemilih yang amburadul
4. Keterlibatan penyelenggara yang potensi memenangkan peserta.
5. Gugatan dilayangkan oleh peserta atau pemantau pemilu yang terakreditasi.
Selain katagori tersebut di atas muncul fenomena baru yang hanya dilakukan oleh rakyat biasa, hal ini tervalidasi pada gugatan perkara nomer 277 yang dilakukan satu orang pemohon bernama Budhi Pakerti dari kota Malang,
Ketidaklaziman pemohon ini sempat jadi perbincangan praktisi hukum tentang legal standingnya yang kebanyakan praktisi hukum khususnya di kota Malang berpendapat *DITOLAK* MK batalah segala argumentasi mereka tentang posisi hukum pemohon karena faktanya *DITERIMA* bahkan disidangkan dalam panel sidang di MK.
Hal baru lagi permohonan pemohon tidak terkena tegat waktu yang diatur oleh MK dan materi gugatan yang paling sederhana dan mudah ditanggapi majelis seperti yang disampaikan ketua majelis sidang Suhartoyo dalam persidangan perdana, tidak butuh bertumpuk bukti dan berbondong saksi serta materi permohonan yang hanya beberapa lembar kertas.
Budhi Pakerti sosok yang tidak populer dalam ruang perpolitikan di kota Malang, sosok yang sederhana dengan gaya bicara yang tanpa beban dan energik meski usianya sudah lebih dari 60 tahun. Bagi mereka yang bergelut dalam ruang kritis obrolan hukum dan demokrasi maka tak kan asing pada sosok berambut tipis dan berkumis ini.
Kegigihannya melawan perda perubahan RTRW tahun 2000 dengan beberapa kawan membuat penguasa baik eksekutif dan legislatif harus menggunakan cara premanisme untuk menghardik dan mengintimidasi.
Dengan secuil gambaran ini maka kita punya kesan tentang profilnya, kembali pada konteks pilkada di kota Malang hanya dia yang punya kecermatan dan kejelian membidik problematika yang tak teramati secara serius oleh publik.
Budhi Pakerti tidak menyoal perilaku pemilih, perilaku peserta dan data administrasi suara tetapi yang diincar dan langsung dibidik adalah integritas penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu dalam hal komitmen dan konsistensi terhadap konstitusi yang menjadi pijakan pelaksanaan pilkada, dengan demikian permohonan materi gugatannya tidak ada hubungan sama sekali dengan kepentingan paslon siapapun, sekaligus bisa jadi ruang terbuka untuk bisa dimasuki oleh pihak terkait.
Sebagai orang yang punya kepedulian pada agenda demokrasi khususnya di kota Malang yang notabene berlabel kota pendidikan, saya sangat apresiatif pada terobosan hukum yang dilakukan. Terlepas apapun hasilnya tapi langkah tersebut bisa memberi nutrisi berdemokrasi bagi siapapun yang masih punya spirit dan energi agar kualitas demokrasi bisa semakin diseriusi dan jadi agenda bersama. Demokrasi jangan dikeberi hanya soal kompetisi tetapi terabaikan subtansinya.
Akhirnya mari kita ikuti proses persidangan di MK dengan membuang segala pretensi apapun karena kita percaya bahwa majelis MK yang menyidangkan perkara tersebut pasti punya integritas yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun mengingat MK saat ini bukan hanya sekedar “Mahkamah Kalkulator” tetapi juga konsisten menyoal keadilan subtantif. (Penulis : Bambang GW)