Bandung, Jatim This Week – Bupati Garut Rudy Gunawan menerbitkan Peraturan Bupati atau Perbub Anti Maksiat bernomor 47 Tahun 2023. Dalam peraturan itu diatur tentang larangan aktivitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau LGBT di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Tujuan penerbitan beleid ini menurut Rudy untuk menciptakan tatanan masyarakat yang sesuai dengan norma, teruma dalam perbuatan menyimpang.
“Ini sebagai implementasi dari Perda tentang Anti Maksiat, jadi Perbup itu mengatur tentang anti maksiat yang di dalamnya ada LGBT,” kata Bupati Garut pada Rabu (12 /7/2023).
Menurut Rudy, Perbup itu sudah berlaku sejak awal Juli 2023. Ia mengklaim bahwa aturan itu diterbitkan untuk melindungi masyarakat Kabupaten Garut dari perbuatan yang menyimpang, seperti permasalahan LGBT.
“Kami juga klasifikasikan bahwa itu (LGBT) adalah perbuatan yang dilarang di Kabupaten Garut, dari sisi apapun dilarang,” katanya.
Rudy mengatakan penerbitan aturan itu bukan karena desakan pihak tertentu, melainkan bagian dari tanggung jawab Pemkab Garut untuk melindungi semua warganya dari perbuatan maksiat.
Perbup itu, kata dia, sifatnya mencegah yang dilakukan oleh tim khusus dari jajaran Satpol PP, Bakesbangpol, Dinas Pendidikan dan sejumlah dinas lainnya, juga dibantu dari jajaran kepolisian maupun TNI.
“Kita hanya preventif melakukan satu pembinaan terhadap mereka yang dalam kondisi sekarang ini dianggap LGBT,” katanya.
Ia menambahkan tim khusus nantinya akan turun ke lapangan untuk melakukan pemantauan dan menindaklanjuti apabila ada aktivitas mencurigakan yang mengarah pada perbuatan maksiat di suatu tempat.
“Ada yang terjaring akan dibina, lebih kepada pembinaan, kita tidak bisa berharap seperti itu, hanya menyadarkan,” katanya.
Sebelumnya aktivis Hak Asasi Manusia Bivitri Susanti menilai pembahasan randangan peraturan daerah tentang LGBT merupakan tren menjelang tahun politik 2024.
Hal ini upaya untuk mencari sentimen publik. Namun, kondisi ini berpotensi menambah diskriminasi terhadap LGBT.
Bivitri menduga peraturan-peraturan yang sentimen dan fanatisme ini sengaja dibikin oleh politikus ke publik lantaran politikus itu tidak mampu membicarakan isu-isu yang lebih subtantif. Sehingga, kata Bivitri, mereka merasa lebih baik membicarakan isu LGBT, ataupun isu lainnya. (jer/adi)